Hadis dan Sunnah
A.
PENGERTIAN
HADITS DAN SUNNAH
1. Pengertian Hadits
Hadits atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang
artinya sesuatu yang baru, lawan dari al-qadim (lama) artinya yang berarti
menunjukkan waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti “hadiitsul’ahdi
fil islam” yang artinya “orang yang baru masuk/memeluk agama islam”.
Hadis juga
sering disebut dengan al-khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada oraang lain, sama maknanya
dengan hadis.
Hadis
dengan pengertian khabar sebagaimana tersebut dapat dilihat pada beberapa ayat
al-quran seperti QS. Al-Thur (52) : 34, QS. Al-Kahfi (18) : 6, dan QS. Al-dhuha
(93) : 11.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) para ahli
memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin
ilmunya. Seperti pengertian hadis menurut ahli ushul akan berbeda dengan
pengertian yang diberikab oleh ahli hadis.
Hadis secara etimologi adalah al jadid dan al-khabar
(baru dan berita). Menurut istilah syaritan, pemakaian istilah hadis juga
berbeda-beda sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Dapat pula bermakna
ucapan yang digunakan dalam percakapan atau yang datang melalui wahyu.
Menurut ahli hadis, pengertian hadis adalah : “segala
perkataan Nabi, perbuatan dan hal ihwalnya”. Yang dimaksud dengan “hal ihwal”
ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah,
karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaannya.
Ada juga yang memberikan pengertian lain : “sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat beliau”.
Sebagaimana
muhadditsin berpendapat bahwa pengertian hadis di atas merupakan pengertian
yang sempit. Menurut mereka, hadis mempunyai cakupan pengertian yang lebih
luas. Tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi SAW (hadits marfu’)
saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadits mauquf)
dan tabi’in (hadits maqtu’), sebagaimana disebutkan oleh tirmidzi :
“bahwasanya hadis itu bukan hanya untuk
sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW; melainkan
bisa juga untuk sesuatu yang mauquf, yang disandarkan kepada sahabat; dan yang
maqtu’, yaitu yang disandarkan kepadda tabi’in”.
Sementara
para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah :
Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan dan taqrirnya
yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini
jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik
ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau
ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia.
Selain itu tidak bisa dikatakan hadis. Yang
dikatakan hadis adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang
diemban oleh Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Ini pun, menurut mereka harus
berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan,
tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan
sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadis. Dengan demikian,
pengertian hadis menurut ahli ushul lebih sempit dibanding dengan pengertian
hadis menurut ahli hadis.
Sementara jumhur ulama hadis sunni memasukkan hadis
mauquf (yang bersumber dari sahabat) dan maqthu’ (bersumber dari tabi’in) dalam
kategori hadis dan menganggap hadis identik dengan khabar. Tetapi biasanya
istilah hadis lebih banyak dimaksudkan oleh mereka dengan perkataan, perbuatan
atau taqrir nabi sesudah bi’tsah. Karenanya istilah sunnah lebih umum dari pada
hadits.
Untuk
memperjelas definisi diatas, akan dicantumkan beberapa contoh hadis sesuai
dengan pengelompokannya :
a. Hadis
yang berupa ucapan (qoul)
Hadis shahih dari
Riwayat Muslim yang artinya:
“seandainya seseorang dari kalian duduk di
atas bara api hingga terbakar bajunya dan menembus kulitnya masih lebih baik
dari pada harus duduk di atas kuburan”.
b. Hadis
yang berupa perbuatan (fi’il) seperti riwayat abu daud yang menyebutkan bahwa
beliau selalu meluruskan shaf saat akan memulai shalat.
c. Persetujuan
Yaitu
berupa perilaku sahabat yang dilakukan di belakang nabi yang kemudian diketahui
oleh beliau dan disetujui. Atau perbuatan yang dilakukan dihadapan beliau dan
beliau diam. Sikap diam tersebut menunjukkan makna setuju atau sepakat.
Misalnya kasus sahabat yang menangkap dhob(hewan padang pasir sejenis biawak)
saat perang.
Hewan
itu kemudian dimasak dan dihidangkan kepada Nabi namun beliau tidak memakannya.
Hewan itu kemudian dimakan oleh para sahabat di hadapan Nabi dan beliau diam
tidak melarang. Sikap tersebut sebagai tanda bahwa makanan itu halal untuk
dimakan.
d. Sifat
Hal-hal
yang berkaitan dengan gambaran akhlak dan fisik Nabi. Misalnya hadis yang
menjelaskan bahwa beliau memiliki persetujuan, yaitu berupa perilaku sahabat
yang dilakukan di belakang nabi yang kemudian diketahui oleh beliau dan
disetujui. Atau perbuatan yang dilakukan dihadapan beliau dan beliau diam.
Sikap diam tersebut menunjukkan makna setuju atau sepakat. Misalnya kasus
sahabat yang menangkap dhob(hewan padang pasir sejenis biawak) saat perang.
Hewan
itu kemudian dimasak dan dihidangkan kepada Nabi namun beliau tidak memakannya.
Hewan itu kemudian dimakan oleh para sahabat di hadapan Nabi dan beliau diam
tidak melarang. Seikap tersebut sebagai tanda bahwa makanan itu halal untuk
dimakan.
e. Sifat,
hal-hal yang berkaitan dengan gambaran akhlak dan fisik Nabi. Misalnya hadis
yang menjelaskan bahwa beliau memiliki sifat yang sangat pemalu. Diriwayatkan
pula bahwa beliau berparas sangat tampan.
Berbeda dengan pandangan ahli hadis,
ulama ushul fiqih justru mengartikan hadis secara lebih sempit. Menurut mereka
hadis adalah perkataan, perbuatan, ataupun persetujuan nabi saw. Dari hadis ada
pula yang menyebutkan jika digunakan kata hadis, maka dalam persepsi ulama
ushul fiqih, maksudnya adalah sunnah qauliyyah (perkataan).
2. Pengertian Sunnah
Menurut bahasa sunnah berarti atthoriikotu
mahmuudatan kaanats au madzmuumah yang artinya “jalan yang terpuji dan atau
yang tercela”.Sementara dalam hadis Rasulullah SAW yang artinya : “barangsiapa
melakukan sesuatu perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala (dari
perbuatannya itu dan pahala orang yang menirunya setelah dia, dengan tidak
dikurangi pahalanya sedikit pun. Dan barang siapa melakukan perbuatan yang
jelek, ia akan menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang menirukannya,
dengan tidak dikurangi dosanya sedikitpun”. (HR.Muslim)
Dalam
surat al isra (17) : 77 Allah berfirman :
سُنَّةَ
مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلا
(٧٧)
“Kami
menetapkan yang demikian) sebagai suatuketetapan terhadap Rasul-rasul Kami yang
kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan lagi ketetapan kami
itu”.[7]
Bila kata sunah disebutkan dalam masalah yang
berhubungan dengan hukum syara’, maka yang dimaksudkan tiada lain kecuali
segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, atau dianjurkan oleh Rasulullah
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya. Dan apabila ada
dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan al-Sunnah berarti yang dimaksudkan
adalah al-quran dan hadis.
Sedang sunnah menurut istilah, dikalangan ulama
terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar
belakang, persepsi dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW
secara garis besarnya mereka terkelompok menjadi 3 golongan; ahli hadis, ahli
ushul dan ahli fiqih.
·
Pengertian sunnah
menurut ahli hadis
Sunnah adalah segala yang bersumber dari Nabi SAW
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan
hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya”.
Jadi dengan definisi tersebut,para ahli hadis
menyamakan antara sunnah dengan hadis. Tampaknya para ahli hadis membawa makna
sunnah ini kepada seluruh kebiasaan Nabi
SAW, baik yang melahirkan hukum syara’ maupun tidak. Hal ini terlihat dari
definisi yang diberikan mencakup tradisi Nabi sebelum masa terutusnya sebagai
Rasul.
Akan tetapi bagi ulama ushuliyyin jika antara sunnah
dan hadis dibedakan, maka bagi mereka, hadis adalah sebatas sunnah qauliyah-nya
Nabi SAW saja. Ini berarti, sunnah cakupannya lebih luas dibandingkan hadis,
sebab sunnah mencakup perkataan, perbuatan, dan penetapan (taqrir) Rasul, yang
bisa dijadikan dalil hukum syar’i.
Mereka mendefinisikan sunnah sebagaimana diatas,
karena mereka memandang diri rasul sebagai uswatun hasanah (contoh tauladan
yang baik). Oleh karenanya, mereka menerima secara utuh segala yang diberikan
tentang diri Rasul SAW. Tanpa membedakan apakah yang diberikan itu berhubungan
dengan hukum syara’ atau tidak.
Pendapat
tersebut didasarkan pada firman Allah SWT. Dalam al-Ahzab (33) : 21
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (٢١)
“sesungguhnya telah ada pada diri Rasul SAW
itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Dengan demikian, berpegang teguh pada al quran dan sunnah
nabi akan menjamin seseorang terhindar dari kesesatan.
Definisi ahli ushul ini membatasi pengertian sunnah
hanya pada segala sesuatu yang bersumber dari nabi, baik perkataan, perbuatan
maupun taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’. Dengan demikian, sifat,
perilaku, sejarah hidup, dan segala yang bersumber dari Nabi SAW yang tidak
berkaitan dengan hukum syara’ dan terjadi sebelum diangkat menjadi rasul tidak
dikatakan sunnah. Demikian pula tidak dikatakan sebagai sunnah segala yang
bersumber dari sahabat dan tabi’in, baik perkataan, perbuatan, maupun
ketetapan-ketetapannya.
Pemahaman ahli ushul terhadap sunnah sebagaimana
tersebut diatas, didasarkan pada argumentasi rasional bahwa Rasulullah SAW
sebagai pembawa dan pengatur undang-undang yang menerangkan kepada manusia
tentang dustur al-hayat (undang-undang hidup) dan menciptakan kerangka dasar
bagi para mujtahid yang hidup sesudahnya. Hal-hal yang tidak mengandung misi
seperti ini tidak dapat dikatakan sunnah dan oleh karenanya ia tidak dapat
dijadikan sumber hukum yang mengikat.
Sedangkan
sunnah menurut ahli fiqih sebagai berikut : “Segala ketetapan yang berasal dari
Nabi SAW selain yang difardukan dan diwajibkan dan termasuk hukum (taklifi)
yanglima”.
DAFTAR
PUSTAKA
Suparta
munzier.2011.ilmu hadis.jakarta:rajawali pers_edisi revisi cetakan ke-7
Posted by: Nadiafa
Komentar
Posting Komentar